anda pengunjung ke

Monday, February 29, 2016

Niccolò Machiavelli



Merupakan salah satu filusuf dan politikus terkenal pada zaman renaisance. Karya  Niccolò yang paling terkenal adalah Il Principe dan tidak dipublikasikan hingga kematiannya, di tahun 1532. Pemikiran Niccolò meninggalkan kesan beragam bagi pembacanya.
Salah satu sumbangsih pemikirannya dalam sejarah pemikiran dunia adalah kejujurannya dalam mengungkap realitas secara vulgar. Ia menuliskan narasi dan analisis keadaan mengenai konteks keadaan dunia yang dia diami pada saat itu. Ide-ide yang lahir dalam potret bingkai kekuasaan didiskusikannya dengan suatu peristiwa pencapaian dan mengelola kekuasaan politik. Sumber utama rujukannya mengenai tokoh yang mampu mencapai dengan ideal digambarkannya pada sosok Cesare Borgia. Teorinya dianggap menyingkirkan aspek-aspek etika dalam berpolitik yang menjadi rujukan pada masa itu (khususnya pemikiran Plato dan Aristoteles). Rujukannya bahkan membuka tabir kekuasaan Gereja Kristen Katolik pada masanya, membuka dinding istana Vatikan yang dipenuhi intrik politik dalam mengelola kekuasaan Gereja dan Negara. Dalam catatan Henry C. Schmandt, Saturday Review, editor mencatat bahwa “politisi hidup dalam dunia setengah kebenaran, kompleksitas, dan ketidakmurnian bukan karena dia adalah pembohong atau penipu tetapi karena itulah cara dia menemukan dunia.
Niccolò Machiavelli seringkali disebut sebagai bapak “politik kekuasaan,” sebutan yang mempunyai arti penting dalam era modern. Kekuasaan adalah bagi mereka yang mempunyai ketrampilan untuk meraihnya dan kemampuan untuk mempertahankan kekuasaan. Pengalaman empiris Niccolò membuat dirinya mencatat bahwa misteri kekuasaan bukanlah persoalan yang spenuhnya bersifat politik dan demi kepentingan rakyat, alasan nafsu kekuasaan bersumber pada diri nilai-nilai manusia. Cita-citanya menggantikan feodalisme dinastik pada abad ke-16 dengan pemerintahan yang bersifat nasional dengan pemimpin tunggal membuat pemikirannya menjadi kontroversial. Ketika Kristendom berkembang menjadi negara-negara yang berdiri sendiri dan saling bersaing membuat tradisi persatuan Italia mulai ditinggalkan. Selama jaman pertengahan tidak terdapat konsepsi yang jelas dengan kehadiran dua wilayah kekuasaan yang saling tumpang tindih antara Gereja dan Negara. Charles E. Meriam mencatat empat kendala selama abad pertengahan: (1) ide tantang dominasi hukum ketuhanan dan hukum alam tentang hukum positif; (2) konflik Gereja-Negara; (3) gagasan tentang bentuk pemerintahan gabungan; (4) kondisi feodal negara.

      Biografi Niccolò Machiavelli

Machiavelli lahir tahun 1469 di Florence, Italia. anak kedua dari Bernardo Machiavelli dan Bartolomea de’ Nerli. (Keluarga) Machiavelli merupakan bagian dari kelas menengah-ningrat dari Oltrano sebuah distrik di Florence. Ayah Niccolò yaitu Bernardo merupakan seorang ahli hukum yang berasal dari keluarga bangsawan. Situasi Italia ketika itu mengalami instabilitas sosio-politis. Italia terpisah menjadi lima negara utama (Bangsawan Milan, Republik Venesia, Negara Kepausan, Republik Florence, dan Kerajaan Naples) serta beberapa kota merdeka atau setengah-merdeka seperti: Genoa, Lucca, Bologna, Ferrara, dan Siena.
Keluarga Machiavelli di Florence memang termasuk keluarga ningrat tetapi kehidupan keluarga Bernardo tidaklah kaya dan berkuasa, bahkan menurut perspektif Niccolò dia justru hidup dalam ‘kemiskinan’. Di dalam suratnya kepada Fransesco Vettori pada tanggal 18 Maret 1513, Niccolò menjelaskan perasaannya tentang masa kecilnya yang lahir dalam kemiskinan, dan pada usia dini harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar membaca daripada berkembang seperti anak sebayanya. Namun demikian ‘kemiskinan’ tidak membuat ayahnya untuk tidak memberikan pendidikan dasar yang baik kepada Niccolò kecil, seperti: ilmu hitung (arithmetic), tata bahasa (grammar), retorika (rhetoric), dan bahasa Latin. Niccolò kecil sangat beruntung mendapatkan pendidikan yang baik, Beberapa gurunya diantaranya adalah Maestro Matteo dan Paolo da Ronciglione. Setelah dewasa, Niccolò kemudian melanjutkan pendidikannya ke Studio Fiorentino sebuah universitas yang dipimpin oleh Cristoforo Landino. Disini dia mendapatkan pelajaran sejarah dan filosofi moral berdasarkan silabus humanis.
Pada usia 25 tahun dia menyaksikan terjadinya sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan perubahan kekuasaan di Florence. Pada tahun 1494 terjadi pertempuran antara Raja Charles VIII dari Perancis melawan keluarga Medici, yang diakhiri dengan tergulingnya keluarga Medici. Niccolò melihat perubahan kekuasaan di Florence dengan munculnya sosok pemimpin berkharismatik, seorang rahib Dominikan yaitu Girolamo Savonarola –yang tentu saja sekaligus adalah lawan politik dari keluarga Medici.
Niccolò dalam usianya yang muda (29 tahun) mendapatkan posisi penting di Florence setelah uskup Piero Soderini mengambil-alih pemerintahan Savonarola. Di kemudian hari karir politik Niccolò menjadi cemerlang dibawah pemerintahan uskup Piero Soderini. Uskup Piero Soderini dengan pengaruh politiknya di kemudian hari mempercayai Niccolò Machiavelli sebagai ‘orangnya’. Karena itu tidak mengherankan jika dia menjadi Konselor Kedua Republik Florence dan juga ditunjuk sebagai sekretaris Komisi “Ten of Balia” yaitu komisi tentang kebebasan dan perdamaian Republik Florence.
Gaji Niccolò sendiri pada waktu awal karir politiknya berjumlah 128 florins dan berkantor di lantai dua Palazzo della Signoria. Dalam mengemban jabatan-jabatan tersebut, Niccolò mempunyai peranan yang sangat penting dalam kancah politik Florence. Tugasnya membidangi tiga bidang penting, yaitu: kegiatan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, dan perdagangan luar negeri. Dia dibantu oleh pembantu-bawahan, seperti: Agostino Vespucci, Andrea di Romolo, dan Biagio Buonaccorsi, yang menjadi teman setianya di kemudian hari.
 Antara tahun 1499 dan 1522 Niccolò Machiavelli mempunyai kesempatan untuk bertemu para pemimpin penting politik Eropa (termasuk pemimpin Gereja) pada waktu itu, diantaranya: Raja Perancis: Louis XII; Kaisar Maximillian; Paus Julius II; dan Bangsawan Valentino (Cesare Borgia). Pertemuan itu sendiri menyangkut kepentingan misi-diplomatik Republik Florence. Niccolò dengan peranannya mendapatkan kesempatan memasuki kehidupan politik nyata, dan dapat berdiplomasi untuk mengarahkan secara pikiran, ambisi, kuasa para pemimpin yang ditemuinya demi negaranya (Republik Florence). Usia Niccolò Machiavelli baru 43 tahun pada tahun 1512 ketika dia harus melihat keruntuhan pemerintahan Soderini. Semua prestasi dan kerja keras dalam hidupnya untuk berjasa bagi Republik Florence menjadi sia-sia ketika dia melihat bahwa pemerintah Florence yang baru tidak memandang sedikitpun tentang prestasi Niccolò karena kedekatannya dengan keluarga Soderini. Setelah dipecat, Niccolò merasakan semua sarana fasilitas terhadap dirinya selama menjadi birokat dicabut, bahkan selang beberapa saat dia memutuskan untuk mengasingkan diri di kediamannya, desa San’t Andrea, sebelum akhirnya tetap dipenjarakan oleh keluarga Medici. Pergumulannya tentang ketidakpuasannya terhadap nasib yang dialami dalam hidupnya membuat dia bersemangat mencari sebuah cara untuk memukau penguasa baru Republik Florence dengan bakat dan pengalaman pemerintahannya bersama klan Soderini. Karya Il Principe diselesaikannya di tahun 1513 yang dipersembahkannya untuk Lorenzo de’Medici (1492-1519).Niccolò Machiavelli meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun.

     Karya Niccolò Machiavelli

Niccolò Machiavelli adalah filosof kontroversial asal Italia yang hidup pada jaman renaisan. Ia mengajarkan cara mempertahankan kekuasaan politik dengan tipu muslihat, kelicikan serta kekejaman. Akibatya ia banyak mendapat tanggapan beragam dari hujatan hingga pujian karena keberaniannya menjelaskan keadaan politik secara blak-blakan. Dikutuk banyak orang selaku filusuf dan politikus yang tak bennoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya, Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik filosof maupun politikus.
 Tahun 1512, Republik Florentine dipimpin oleh seorang penguasa bernama Medici setelah melakukan perebutan kekuasaan. Machiavelli dilengserkan dari jabatan serta di tahan dengan tuduhan melakukan makar. Setelah dibebaskan karena di nyatakan tidak bersalah Machiavelli kemudian hidup dalam perkampungan kecil di San Casciano.
Ia kemudian banyak menghasilkan karya tulis yang sangat populer. Beberapa karya terkenalnya antara lain: The Prince (Sang Pangeran), The Discourses upon the first ten books of Titus Livius , The Art of War, a History of Florence dan La Madrogala. Di antara-karya-karyanya, The Prince dapat dikatakan karya terbesar yang membahas filsafat politik. Dalam buku ini ia menguraikan cara-cara mempertahankan kekuasaan yang harus dilakukan dengan cara curang, licik, mengabaikan moralitas dan menggunakan kekejaman. Machiavelli menekankan bahwa suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik untuk mempertahankan kekuasaan. Tentara harus dipilih dari orang-orang yang dapat dipercaya dalam negara tersebut. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negara lain adalah lemah dan berbahaya.  Seorang Raja harus mendapatkan dukungan dari rakyatnya, sebab rakyat adalah kekuatan terbesar dari sebuah Negara. Kekuasaan kadangkala harus di rebut dengan segala cara sehingga untuk mengamankan kekuasaannya, seorang raja perlu melakukan segala hal walaupun tidak disukai rakyatnya. Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia: Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. The Prince (Sang Pangeran) dapat dikatakan sebagai "buku pedoman wajib para diktator."
Dari beragam tulisannya terlihat bahwa dia cenderung menyenangi bentuk pemerintahan republik dari pada diktator. Namun ia merasakan kecemasan karena lemahnya politik dan militer Italia. Machiavelli mendambakan Italia menjadi Negara yang kuat dari segi politik dan Militer sehingga mampu mengusir para aggressor yang akan menguasai negerinya. Hal yang menarik adalah meskipun ia menganjurkan cara-cara kejam., namun Machiavelli adalah seorang idealis dan patriot serta tidak mampu mempraktekkan. Kehadiran The Prince dalam jagad pemikiran filsafat tak pelak melahirkan diktaktor-diktaktor besar seperti Benito Mussolini, Napoleon Bonaparte, Hitler dan Stalin. Ketika Plato dan St. Augustine, mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memandang dalam perspektif lain bahwa politik itu bukan soal rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis daripada sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli.
Dalam the Prince digambarkan cara-cara agar seorang individu dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan negara. Situasi sosial dan politik dalam buku tersebut dilukiskan dalam kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi dan mudah berubah. Hanya orang hebat dengan pikiran penuh perhitungan yang dapat menaklukkan kondisi sosial politik tersebut. Penolakan Machiavelli terhadap penghakiman etis dalam politik mengakibatkan pemikirannya disebut sebagai pemikiran renaisance yang anti-Christ.
Citra Machiavelli yang menentang kekuasaan gereja juga terlihat dalam buku the Discourse yang secara jelas menyatakan bahwa bahwa Kristianitas konvensional melemahkan manusia dari kekuatan yang diperlukan untuk menjadi masyarakat sipil yang aktif. Dalam the Prince juga terdapat penghinaan, disamping penghormatan, terhadap kondisi gereja dan kepausan pada saat itu. Pandangan-pandangan Machiavelli mengakibatkan beberapa penulis seperti Sullivan (1996) dan Anthony Parel (1992) berpendapat bahwa Machiavelli adalah penganut agama pagan seperti masyarakat Romawi kuno.
Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan.
Nilai (virtú), dalam bahasa Machiavelli dipahami sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginannya dalam situasi sosial yang berubah melalui kehendak yang kuat, kekuatan, serta perhitungan dan strategi yang brilliant. Bahkan, untuk mendapatkan cinta seorang perempuan (Fortune), seorang raja yang idela tidak meminta atau memohon, tetapi mengambilnya secara fisik dan melakukan apapun yang dia mau. Skandal tersebut melambangkan potensi manusia yang sangat kuat di lapangan politik.
Virtú, dalam konsepsi Machiavelli adalah kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya. Raja harus memiliki kualitas virtú yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan untuk dapat bertindak sangat jahat. Untuk dapat menjadi seseorang yang memiliki kualitas virtú, raja harus bersifat fleksibel (flexible disposition). Orang yang sesuai untuk memegang kekuasaan menurut Machiavelli adalah seseorang yang dapat melakukan berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Virtú adalah segala hal yang terkait dengan kekuasaan. Penguasa Virtú dituntut untuk memiliki kompetensi menjalankan kekuasaan. Memiliki Virtú berarti memiliki kemampuan atas segala aturan yang terkait dengan menjalankan kekuasaan secara efektif. Virtú adalah kekuasaan politik.
Konsepsi lain yang menghubungkan antara Virtú dengan pelaksanaan kekuasaan yang efektif adalah Fortuna. Fortuna adalah musuh dari tatanan politik, merupakan ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penggunaan konsep fortuna ini menimbulkan banyak perdebatan. Secara konvensional, fortuna diartikan sebagai keramahan, sesuatu yang lunak dan tidak berbahaya, tetapi juga sifat ketuhanan yang berubah-ubah sebagai sumber dari kebaikan sekaligus keburukan manusia. Sedangkan Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi (uncomprommising fount of human misery), penderitaan, dan musibah. Jika fortuna menentukan kemajuan yang dicapai umat manusia, maka tidak ada seorangpun yang dapat bertindak secara efektif berhadapan dengan ketuhanan.
Dia menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai kita yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak” (one of our destructive rivers which, when it is angry, turn the plains into lakes, throws down the trees and buildings, takes earth from one spot, puts it in another; everyone flees before the flood; everyone yields to its fury and nowhere can repel it). Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan Virtú dan kebijakan.
Kesuksesan politik bergantung kepada apresiasi berjalannya fortuna. Pengalaman Machiavelli mengajarkan bahwa adalah lebih baik bergerak cepat (impetuous) dari pada berhati-hati, karena fortuna adalah seorang perempuan dan diperlukan untuk menempatkannya di bawah kita, mengacaukan dan menganiayanya. Dengan kata lain, fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.
Jika buku the Prince banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan buku the Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang memengaruhi pencapaian kehidupan bersama.
Tatanan konstitusional yang minimal adalah di mana subyek hidup dengan aman (vivere sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa mengawasi perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi dengan mekanisme hukum dan institusional lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan tatanan politik adalah untuk kebebasan masyarakat (vivere libero) yang diciptakan secara aktif oleh partisipasi dan interaksi antara kaum bangsawan dan rakyat.
Selama kariernya sebagai sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli mendapatkan pengalaman di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” [but not free] polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan yang berkuasa dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi.
Bagaimanapun bagusnya penataan dan kepatuhan hukum dalam rezim yang demikian, menurut pandangan Machiavelli tidak sesuai dengan vivere libero. Sepanjang terdapat kehendak publik untuk mendapatkan kebebasannya, raja yang tidak dapat memenuhinya harus meneliti apa yang dapat membuat mereka menjadi bebas. Dia menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat memerintah yang lain. Sebaliknya, sebagian besar mayoritas rakyat mengalami kebingungan antara kebebasan dan keamanan, membayangkan bahwa keduanya adalah identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan aman (vivere sicuro).Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarkhi, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib
Keluarga Machiavelli di Florence memang termasuk keluarga ningrat tetapi kehidupan keluarga Bernardo tidaklah kaya dan berkuasa, bahkan menurut perspektif Niccolò dia justru hidup dalam ‘kemiskinan’. Di dalam suratnya kepada Fransesco Vettori pada tanggal 18 Maret 1513, Niccolò menjelaskan perasaannya tentang masa kecilnya yang lahir dalam kemiskinan, dan pada usia dini harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar membaca daripada berkembang seperti anak sebayanya. Namun demikian ‘kemiskinan’ tidak membuat ayahnya untuk tidak memberikan pendidikan dasar yang baik kepada Niccolò kecil, seperti: ilmu hitung (arithmetic), tata bahasa (grammar), retorika (rhetoric), dan bahasa Latin. Niccolò kecil sangat beruntung mendapatkan pendidikan yang baik. Ia merupakan filusuf, karena Ia mengajarkan cara mempertahankan kekuasaan politik dengan tipu muslihat, kelicikan serta kekejaman. Akibatya ia banyak mendapat tanggapan beragam dari hujatan hingga pujian karena keberaniannya menjelaskan keadaan politik secara blak-blakan. Dikutuk banyak orang selaku filusuf dan politikus yang tak bennoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya. Salalah satu karyanya yang terkenal adalah The Prince (Sang Pangeran), The Discourses upon the first ten books of Titus Livius , The Art of War, a History of Florence dan La Madrogala. Dalam buku ini ia menguraikan cara-cara mempertahankan kekuasaan yang harus dilakukan dengan cara curang, licik, mengabaikan moralitas dan menggunakan kekejaman. Machiavelli menekankan bahwa suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik untuk mempertahankan kekuasaan. Tentara harus dipilih dari orang-orang yang dapat dipercaya dalam negara tersebut. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negara lain adalah lemah dan berbahaya.  Seorang Raja harus mendapatkan dukungan dari rakyatnya, sebab rakyat adalah kekuatan terbesar dari sebuah Negara. Kekuasaan kadangkala harus di rebut dengan segala cara sehingga untuk mengamankan kekuasaannya, seorang raja perlu melakukan segala hal walaupun tidak disukai rakyatnya. Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia: Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Il Principe (The Prince (Sang Pangeran)) dapat dikatakan sebagai "buku pedoman wajib para diktator." Niccolò Machiavelli meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun.

No comments: